Search This Blog

Sunday, March 22, 2015

Jepang : Sebuah Titik Balik dari MIMPI yang TINGGI (1)

Gapailah mimpi setinggi langit


Quote yang sangat familiar yang sering kita dengar atau bahkan baca di setiap media. Quote yang mungkin hanya lah sebagai quote atau memang quote itu yang dapat memotivasi seseorang untuk menggapai mimpinya bahkan mimpi yang sangat tinggi.

Mimpi untuk pergi keluar negeri memang sudah ada dari dulu ketika saya duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas Negeri. karena trip keluar negeri saya pada saat saya SMP dengan keluarga saya. ketika saya masih SMA, saya amaze dengan senior-senior saya yang mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar di Eropa dan ada juga yang pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Kedua senior saya itu sangat menginspirasi dan memiliki pikiran yang sangat terbuka, sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang sempat pertukaran pelajar di luar negeri memiliki pikiran yang terbuka terhadap suatu negara. Akhirnya, ketika sebuah organisasi mengadakan Open Recruitment untuk pertukaran pelajar ke Amerika, saya pun mendaftar. Ada 3 tahap untuk agar dapat lulus ke Amerika, sayangnya saya hanya bisa lulus di tahap 1, yaitu test tentang pengetahuan umum.
Semenjak saat itu, saya bercita-cita untuk keluar negri tanpa kedua orang tua saya.
.
.
.
.
.
.
Singkat cerita, saya sudah berstatus Mahasiswa salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia Timur, yaitu Institut Teknologi Sepuluh Nopember, jurusan Teknik Mesin, jurusan yang sangat bertolak belakang dengan hobby saya dari SMA, yaitu SOSPOL.
.
.
.
.
Singkat cerita lagi, saya mengenal sebuah kompetisi yang bernama Model United Nation. Hampir mirip dengan Australasian Debate tapi bedanya MUN (Model United Nation) merupakan kompetisi yang dimana kita harus mewakili sebuah negara untuk memecahkan sebuah masalah internasional yang berhubungan dengan solusi orang banyak. Debate, Diplomacy and Negotiate adalah 3 hal utama yang harus dilakukan di dalam MUN agar bisa mendapatkan award seperti Best Delegate (Juara 1), Outstanding delegate (Juara 2) dan Honorable Mention (Juara 3). Biasanya MUN diadakan selama 4-5 hari karena debat dan negosiasi yang dilakukan cukup lama karena solusi yang harus dihasilkan WAJIB mengikuti aturan dan perundang-undangan negara yang kita wakilkan...
.
.
.
.
.
Singkat cerita, saya dan teman saya Anggi Raymond Pardede mengikuti banyak MUN (terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman saya ini yang telah mengenalkan MUN kepada saya)
MUN pertama saya adalah Jogja International Model United Nation (JOINMUN). 
Pada tahun 2012 saya dan Raymond bertolak ke Yogyakarta untuk mengikuti MUN pertama kami. cukup mengesankan karena JoinMUN ini adalah MUN pertama kami yang bertaraf International. Chair (Juri untuk MUN) nya dipanggil dari MIT dan beberapa Universitas terkenal lainnya (kebetulan saya dapat SOCHUM dan chair saya berasal dari MIT)

Council saya ketika mengikuti JoinMUN

My chair in JoinMUN, Ms. Nikita Consul from MIT
Singkat cerita saya dan Raymond sekali lagi mengikuti MUN yang ada di Jakarta, called JMUN (Jakarta Model United Nation) yang diadakan oleh ISAFIS

My ally in JMUN

salah satu keuntungan MUN adalah ketemu dengan teman baru


Setelah dari Jakarta, kami pun mengikuti MUN yang ada di Surabaya yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga yang disebut AirMUN

new friends in  AirMUN

When doing our Draft Resolution
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah menyelesaikan AirMUN, saya pun berkeinginan untuk menghentikan semua kegiatan non-akademik saya dan mulai untuk fokus ke kuliah. saya sadar karena lomba yang saya ikuti sangat bertolak belakang dengan perkuliahan saya sebagai mahasiswa Teknik. Setelah vakum beberapa bulan, saya pun bertemu dengan junior saya yang terinspirasi dengan apa yang telah kami lakukan di Yogya, Jakarta dan di Surabaya.
Saat itu ada MUN yang cukup besar dan cukup menjanjikan, yaitu JUEMUN (Japan University English MUN). Tetapi masalahnya adalah, MUN tersebut berada di negara yang berbeda, yaitu Jepang. Saya pun diajak oleh Achmad Rizal M. (Junior 2012) untuk mengikuti JUEMUN. 
Pertama-tama, saya dan rial mendaftar secara online . Saya sedikit terlambat sehingga quota untuk delegate pun sudah habis dan yang tersisa adalah quota untuk Press. saya pun berpikir dan tidak setuju jika sudah jauh-jauh ke Jepang hanya sebagai wartawan. akhirnya saya pun berkomunikasi dengan panitia JUEMUN pada saat itu yang dimana adalah dosen FISIP (if im not mistaken). setelah ber-email emailan dengan dia, akhirnya saya pun diterima sebagai delegate. tetapi, ada satu hal yang kami tidak sadar, yaitu deadline untuk pembayaran pendaftaranya telah dekat. kami pun dengan NEKAT ke BANK untuk transfer vallas ke Jepang. pada saat itu nominal yang harus kami keluarkan adalah sebesar 2 Jutaan lebih untuk pendaftaran dan hotel Bintang 4 yang disediakan oleh pihak panitia.

Yang menjadi masalah berikutnya adalah TIKET PESAWAT. memang tiket pesawat selalu menjadi masalah kami untuk next MUN (re: HNMUN 2015) dan pada saat itu VISA ke Jepang belum gratis, yang dimana kami harus ke KongJen Jepang untuk membuat VISA.
dan pembuatan VISA menyuruh kami untuk menyertakan tiket pesawat PP, dari Indonesia ke Jepang. 

Dengan sangat NEKAT, kami pun berencana untuk memBOOKING tiket pesawat dari Surabaya-Kansai tapi tidak membayar terlebih dahulu karena kendala pendanaan. sebelumnya, kami sudah mengajukan proposal ke Wakil Rektor 1, walaupun hanya diberikan dana yang sangat sedikti, pencairan dana tersebut sangat sulit dikarenakan urusan birokrasi yang sangat susah. bahkan dana tersebut cair beberapa hari sebelum kami berangkat. 

Bahkan saya sempat pesimis ketika mengurus VISA Jepang karena mereka meminta copy dari buku tabungan dan Pemerintah Jepang mengeluarkan aturan bahwa jika mau masuk Jepang harus memiliki tabungan yang cukup banyak, minimal 1 hari 1 juta
jadi jika kita berada di Jepang selama 10 hari, maka di dalam tabungan kita harus ada senilai 10juta, untuk jaga-jaga agar pelancong yang masuk ke Jepang tidak menjadi pengemis di sana. 
akhirnya untuk memanipulasi "uang tabungan" itu, kami pun meminta surat keterangan dari Jurusan kami yang menyatakan bahwa kami adalah mahasiswa universitas  dan universitas kami bersedia menanggung semua keperluan finansial selama di Jepang (padahal tidak, hanya surat biasa saja).
Akhirnya, kami pun dengan NEKAT dan sedikit pesimis mengisi formulir pengajuan VISA dengan tiket yang masih berstatus BOOKING dan surat keterangan dari Jurusan. Bahkan, kepesimisan saya bertambah ketika saya menyadari bahwa itinerary yang saya tulis di FORMULIR, berbeda dengan jadwal keberangkatan yang ada di tiket BOOKINGan saya.
Dan yang membuat saya tetap pesimis adalah ketika Rizal terlambat untuk mengumpulkan formulir VISA nya, sehingga jika mau optimis-optimisan, kemungkinan yang berangkat hanyalah saya seorang.

tanpa wawancara, staff di KongJen Jepang hanya mengatakan "datang ya ambil paspornya minggu depan" tanpa memberitahukan apakah VISA saya diterima atau tidak...

Dibalik kepesimisan saya, saya hanya bisa berdoa dan meminta kepada Tuhan petunjuk akan keberangkatan saya ini. Jika memang Tuhan mau saya berangkat, VISA saya diterima dan ditempel di paspor saya, tetapi jika Tuhan tidak mengizinkan saya untuk berangkat, maka VISA saya ditolak. memang akhir-akhir ini saya belajar untuk taat kepada kehendak Tuhan. apakah kehendak Tuhan itu menyakitkan buat saya atau tidak, tetapi yang saya percaya kehendakNya selalu yang terbaik buat saya. 

Satu minggu menjadi masa penantian dan masa penggalauan saya. disinilah IMAN diuji apakah saya masih memiliki pengharapan di dalamNya atau saya sudah menyerah dengan diri saya sendiri, padahal Tuhan belum mau menyerah dengan saya.


finally,.......


VISA saya pun tertempel erat di paspor saya...

Tetapi,
Masalah belum selesai, masih ada tiket pesawat yang menghantui untuk di bayar. 

Setelah negosiasi dengan orangtua, akhirnya orangtua pun menyanggupi untuk membayarkan uang tiket saya. dan ternyata Rizal pun juga dapat menyanggupi tiket Surabaya-Bali-Kansai Pergi-Pulang itu. kami pun bersiap-siap untuk keberangkatan kami. itinerary, penginapan bahkan teman-teman kami yang ada di Jepang pun sudah kami hubungi untuk menolong kami. bisa dibilang so far, AMAN...

Tetapi, H-1 sebelum keberangkatan kami, ada sesuatu yang lupa kami perhitungkan. yaitu transportasi di Jepang. Kami diberitahukan oleh salah satu teman kami yang pernah ke Jepang bahwa di Jepang semua tulisan dalam kanji dan orang jepang sangat susah untuk berkomunikasi dalam bahasa inggris. Bahkan untuk tiket, kami harus membeli sesuai dengan jadwal yang ada di Internet (karena orang Jepang sangat ontime).
Akhirnya saya dan rizal pun membagi tugas. karena kami berpikir bahwa kami akan susah mendapatkan sinyal wifi gratis, maka tugas rizal adalah mencetak SEMUA jadwal KERETA yang ada di Jepang dengan destinasi yang akan kami kunjungi, sedangkan saya bertugas untuk mempelajari bahasa Jepang, karena kebetulan pada waktu saya SMA, saya belajar bahasa Jepang. Yak, dengan kondisi H-1 HARI!!!!!

(to be continued...)