Search This Blog

Sunday, January 21, 2018

Engineer tanpa politik itu kuli - part 2

"...kenapa ketika ada sebuah gagasan yang bisa memajukan Indonesia politik malah menghambat?"

Jawa Pos, Maret 2015 pernah menggunakan tagline ini sebagai judul hasil wawancara dengan penulis


Seperti itulah penggalan dari sebuah hasil wawancara yang saya lakukan kepada seorang mahasiswa teknik mesin (yang sekarang telah menjadi alumni) tiga tahun yang lalu. 
Masih teringat di bayang-bayang saya ketika pertama kalinya saya menulis artikel "Engineer tanpa politik itu kuli" di tahun 2015 dan menuai banyak reaksi. dari reaksi positif hingga reaksi yang negatif. 
Tapi tidak ada satu orang pun yang datang ke saya untuk memberikan tanggapan dan kritik mereka terhadap hasil tulisan saya tersebut. Yang ada hanyalah dari hasil mulut-ke-mulut tentang kritikan dari tulisan saya ini.
Bukan menjadi masalah yang besar bagi saya ketika tidak ada orang yang memberikan kritik secara langsung ke saya. Tapi, dari pengalaman saya sekarang sebagai mahasiswa S2 di luar negri, memberikan opini atau menyuarakan sesuatu yang ada di pikiran kita sendiri itu adalah hal yang penting. Tidak hanya memberikan dampak positif dari diri sendiri (yaitu kita bisa lega memberikan unek-unek yang selama ini dipendam) tetapi juga bisa memberikan benefit ke orang lain (bisa saja kritikan yang kita berikan dapat membangun orang lain). Lalu, apa hubunganya dengan berpolitik?

Menuruk kbbi, politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperi tentang sistem pemerintahan) atau segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (link).

Dengan kata lain, politik adalah pengetahuan dan kebijakan mengenai pemerintahan negara atau negara lain. Memberikan opini yang berkaitan dengan pengetahuan dan kebijakan pemerintahan bisa dikatakan sebagai berpolitik. Izinkan saya untuk meng-sharingkan pengalaman saya sebagai mahasiswa S2 di Taiwan dan pengalaman berpolitik saya selama 1,5 tahun tinggal di negara ini sebagai mahasiswa.


Tidak bisa di pungkiri bahwa berpolitik itu bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Izinkan saya untuk mengecilkan ruang lingkup dari berpolitik, tidak hanya dalam ruang lingkup bernegara, tetapi juga bisa dalam ranah bersosialisasi dan juga dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.
Ketika kita berbicara tentang "cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah" pun bisa di katakan politik (KBBI). Manusia tidak akan bisa keluar dari ruang lingkup politik di dalam kehidupanya, suka ataupun tidak suka.

Saya akan mengembalikan ingatan dan motivasi saya untuk menulis artikel ini di part 1.
Ketika itu ada alumni teknik Mesin ITS berkunjung dan memberikan kuliah tamu kepada kami para mahasiwa teknik mesin. Beliau (saya lupa namanya) mengatakan bahwa, engineer atau teknik berada di level paling bawah ketika di bandingkan dengan profesi yang lain (ekonom dan politikus) *tidak ada maksud untuk mendiskreditkan pekerjaan yang berhubungan dengan teknik karena saya sendiri adalah orang dengan berlatar pendidikan teknik*.

Beliau mengatakan, 
Insinyur atau teknik memang sangat di butuhkan karena insinyur lah sebagai salah satu elemen pembangun bangsa. 
Mungkin insinyur bisa menghitung dengan sangat presisi dan mengkonstruksikan untuk membangun bangunan dan jembatan atau power plan yang sangat kuat dan dengan effisiensi yang cukup tinggi, tetapi insinyur tidak akan bergerak atau bahkan tidak dapat mengeksekusi pembangunan infrastruktur tersebut tanpa persetujuan dari orang-orang ekonomi.
Insinyur membutuhkan suntikan dana yang diberikan dan diperhitungkan oleh orang-orang ekonom yang telah menghitung budgeting dan prioritas pemberian dana tersebut. ketika orang ekonomi mengatakan "tidak" untuk bantuan dana tersebut, insinyur tidak bisa mengeksekusi pembangunan. 

Namun, walaupun insinyur menyanggupi pembangunan, ekonom pun telah memberikan lampu hijau dengan ketersediaan dana, tapi mereka tidak akan bisa bergerak tanpa persetujuan dari politikus sebagai "pemegang kekuasaan tertinggi" dalam hal mengeksekusi sebuah pembangunan infrastruktur. Jika dalam struktural organisasi, Politikus ini bisa dikatakan sebagai "Board of Directors" yang memberikan izin agar manager dan supervisor bisa mengeksekusi pembangunan tersebut. Semua kebijakan, strategi dan cara bertindak ada pada tangan "POLITIKUS"



Bukan berarti seorang insinyur harus membanting stir dan secara langsung masuk ke dalam rancah politik (mungkin itu bisa) tapi dimulai dari hal yang sangat sederhana, up to date tentang informasi politik yang ada di dalam ataupun di luar negri.

Ada salah satu kebiasaan yang saya lakukan selama ada di Taiwan yaitu menonton berita dengan media youtube tentang perkembangan informasi yang sedang terjadi tidak hanya yg terjadi di indonesia tetapi juga yang ada di dunia. Sehingga, saya menulis sebuah artikel tentang "dark side" dari sosial media dan pergolakan politik yang terjadi di negara tercinta beberapa bulan yang lalu (stop gunakan hastag ripindonesia)

salah satu halaman youtube yang saya gunakan untuk mencari berita di indonesia

Harus diakui secara jujur bahwa kebiasaan orang Indonesia tentang membaca masih sangat rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca.
Hal ini membuat kita sebagai orang Indonesia dengan gampang menerima kabar dan berita yang belum tentu kebenarannya, sehingga penggunaan kata "HOAX" meningkat.
Sebagai seorang insinyur (atau apapun profesinya), keinginan utk membaca haruslah tinggi untuk menambah pengetahuan, tidak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu science, tetapi juga pengetahuan tentang politik. Sekali lagi saya ingatkan bahwa PENGETAHUAN tentang kenegaraan masih juga bisa dikatakan sebagai POLITIK. 

Ada alasan yang cukup logis mengapa saya mengambil jurusan "Management Business and Administration" sebagai ilmu S2 saya. Mungkin anda berpikir saya ingin terjun dalam dunia politik dengan cara meniti karir dan menambahkan ilmu pengetahuan saya tentang business dan ekonomi (masuk ke dalam step kedua, sama seperti yang dipaparkan oleh alumni teknik mesin tersebut) atau karena memang business tidak akan mati dan akan terus menerus dibutuhkan oleh orang banyak dengan bantuan teknologi yang sangat canggih akhir-akhir ini. Atau beberapa dari orang berpikir bahwa saya ingin me-manage- teknologi dan sumber daya yang ada agar dapat menghasilkan output yang bisa menguntungkan banyak orang (business).

Mungkin semuanya itu benar dan (menurut saya) tidak salah untuk memiliki motivasi tersebut.
Namun, saya tidak hanya ingin mempelajari hal tersebut di dalam kelas, tetapi mengaplikasikan-nya di luar kelas. Yaitu dengan berorganisasi.

Pada awal semester pertama, di jurusan saya (International of Institute Management Business and Administration) melakukan perekrutan pengurus baru dari International Student Council (yang kemudian disingkat STUCO). Pada waktu masa perekrutan tersebut, saya tidak berpikir panjang untuk mengajukan diri sebagai PRESIDEN dari STUCO. Masih teringat tahun lalu, hanya ada dua orang yang mendaftar untuk menjadi pengurus STUCO tersebut. Singkat cerita ketika voting dilakukan, suara pendukung saya tidak terlalu banyak dan menempatkan saya di posisi kedua dan akhirnya membuat saya sebagai Vice President (Wakil Presiden) dari student council.


Salah satu dorongan saya untuk mengajukan diri sebagai presiden adalah hanyalah ingin mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dalam rangka aplikasi "pengetahuan" politik saya yang terbatas. Saya belajar banyak dari STUCO, mulai dari konflik managemen, hingga bersenang-senang bersama. Kemudian saya belajar tentang leadership dari pengalaman organisasi ini. 

Tidak perlu menunggu untuk memiliki jabatan yang tinggi agar bisa memimpin seseorang. Bahkan tanpa jabatan pun anda bisa memimpin seseorang, yaitu memimpin diri anda sendiri. Belajar banyak tentang menempatkan urusan pribadi di akhir prioritas dan menempatkan urusan bersama di prioritas awal, apalagi urusan banyak orang ini sangat beragam karena kami sendiri dari pengurus STUCO berasal dari latar belakang negara yang berbeda-beda. 

Mendengarkan, memproses dari jaring aspirasi dan memberikan solusi merupakan proses yang sama persis dengan hukum pertama termodinamika, yang mengungkapkan bahwa energi keluar tidak akan melebihi dari energi masuk karena adanya system yang akan memproses energi input menjadi energi output.
sumber: wikipedia

Hal ini yang membuat saya kembali berpikir perkataan-perkataan orang lain yang mengatakan bahwa ilmu teknik saya menjadi sia-sia karena disiplin ilmu yang saya ambil di S2 ini telah berbeda. Bahkan tidak ada sedikit penyesalan yang timbul dalam hati saya untuk menjadi "volunteer" di student council ini.

Selama mengambil perkuliahan dan dari scientific paper yang saya baca bahwa di dalam business research (atau yang sejenis) ketika kita melakukan research dan hasilnya tidak sama dengan hipotesis yang telah kita buat, maka hasil tersebut belum tentu salah. 

Akan sangat masuk akal jika kita bisa melakukan analisa yang lebih lanjut mengapa hal tersebut tidak signifikan dan mendorong research selanjutnya untuk meneliti fenomena ini. Memang ketidak-signifikan antara hipotesis dan hasil pasti terjadi karena beberapa faktor seperti sample, measurement dari setiap variable, atau bahkan dari thoery yang digunakan untuk mengembangkan hipotesis itu sendiri, walaupun theory yang digunakan sudah berumur puluhan tahun.

Sangat berbeda dengan disiplin ilmu yang berhubungan dengan keteknikan. Masih teringat didalam memori saya ketika saya mengambil mata kuliah "Perancangan Elemen Mesin" dengan ketentuan-ketentuan dan safety factor yang harus diperhitungkan. Ketika sebuah elemen mesin melebihi dari safety factor yang telah ditentukan, elemen mesin tersebut akan mengalami beberapa gangguan dan akan mengakibatkan failure pada produksi atau pengelolaan energi. 
salah satu tugas perancangan elemen mesin

Masih teringat bulan lalu ketika topik thesis saya ditolak oleh pembimbing saya dengan alasan pola pikir saya yang masih engineering style yang memberikan solusi kepada suatu masalah. Sangatlah baik memang untuk memberikan solusi jika ada masalah, tapi juga menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan yang akan terjadi dari fenomen bisnis atau sosial yang terjadi.

Sama seperti berpolitik, akan ada "loss" yang akan mengakibatkan output tidak akan melebih dari input selama proses politik itu sedang berlangsung. Saya pernah berpendapat bahwa, engineer itu ketika membuat sebuah keputusan, kami didasari oleh "safety factor" yang ada dan tidak akan melebihi atau kurang dari safety factor yang telah di tentukan. Dengan tujuan agar keputusan itu bisa memberikan efek keadilan bagi semua elemen mesin (dalam hal ini kepada semua orang). 
penurunan rumus sederhana yang pernah saya lakukan untuk skripsi S1 di teknik mesin

*sekali lagi mungkin pernyataan ini subjektif dan dibutuhkan masukan dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda*
Sebenarnya banyak skali perumusan dari bidang teknik yang memiliki makna filosofis terhadap kehidupan sosial manusia, khususnya jika dihubungkan dengan ilmu politik. Mengenai keputusan untuk pendelegasian dan penempatan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus atau skill yang berbeda-beda juga merupakan hasil dari analisa sederhana dari ilmu mekanika getaran di teknik mesin.

Kemudian saya teringat ketika diberikan kepercayaan oleh ketua PPI (persatuan pelajar Indonesia) Tainan untuk menjabat sebagai salah satu bendahara dan mengelola keuangan dari organisasi yang cukup besar ini. Waktu itu ketua PPI Tainan memberikan jabatan bendahara kepada dua orang, yaitu saya dan juga salah seorang dari jurusan lain. Tidak lain adalah karena saya barusan saja menyelesaikan mata kuliah Managerial Accounting dan diberikan kepercayaan untuk mengelola dan mem-budget kan keuangan di setiap departemen di organisasi ini. Memilih elemen mesin yang tidak "overkill each other" dengan tujuan meningkatkan daya listrik yang dihasilkan merupakan keputusan yang sangat penting, sama dengan keputusan yang dibuat oleh ketua PPI Tainan kala itu ketika membuat keputusan ini. 
menyelesaikan tugas sebagai pengurus PPI Tainan


Sekarang saya telah berada di akhir semester di perkuliahan saya di Taiwan sebagai mahasiswa MBA. Tidak ada penyesalan sedikitpun untuk berorganisasi di Taiwan, baik di organisasi International (STUCO) atau dengan organisasi internasional dengan genre nasional (PPI TAINAN) karena saya belajar banyak hal, tidak hanya dari ilmu yang saya dapat di Taiwan, tetapi ternyata ilmu teknik mesin saya pun masih sangat berguna secara tidak langsung. 
Kemudian, masih kah engineering di luar sana menganggap bahwa politik bagi mereka tidak penting? atau tidak ingin mempelajari politik karena memang memiliki tujuan untuk menjadi seorang kuli? cuma Anda yang bisa menjawab pertanyaan tersebut dan menganggap Engineer tanpa politik itu adalah kuli atau tidak.


Salam
Yabes David L
MBA Student in IIMBA NCKU, Tainan, Taiwan